Ads 468x60px


30 Agustus 2011

Perjuangan Mudik

Tiap kali menjelang lebaran, di Jakarta (dan mungkin kota-kota besar lainnya) muncul setidaknya dua persoalan tahunan: angkutan dan migrasi.

Saat lebaran, Jakarta cuti dari macet. Hal yang menyenangkan bagi mereka yang berkampung halaman di ibu kota. Tetapi masalah besarnya adalah macet dalam perjalanan antara Jakarta (dan kota-kota besar lain) dan kota-kota kecil atau desa.

Survei Kompas yang diterbitkan 25 Agustus 2011 menyatakan bahwa mayoritas (48.9%) pemudik menyatakan akan naik mobil pribadi, karena lebih fleksibel dan murah. Sebaliknya angkutan umum dianggap tidak fleksibel, mahal dan repot. Penumpang angkutan umum harus membeli karcis jauh hari sebelumnya, sebab tempat terbatas.

Ini mengkhawatirkan, dan seharusnya menjadi tujuan pekerjaan pemerintah yang sejati. Pemerintah perlu secara sistematis mengurangi prosentase tersebut, dan meningkatkan prosentasi yang naik kendaraan umum.

Kerja pemerintah bukan sekadar menyiapkan jalan alternatif atau melancarkan jalan di pantai utara Jawa, yang justru dapat merangsang makin meningkatnya pemudik berkendaraan pribadi. Ini rasional secara ekonomis maupun ekologis.

Pekerjaan itu perlu dimulai sekarang. Di pulau sepadat Jawa, harapan kita hanya ada di kereta api. Perlu diurai mengapa PT KAI tidak bisa lebih cepat mengembangkan layanannya.

Tentang migrasi penduduk, selama bertahun-tahun terutama di masa Gubernur Sutiyoso, diulang litani yang menyesatkan: Jakarta kedatangan sekitar 250 ribu jiwa setiap habis lebaran. Dan ini menimbulkan kengerian yang palsu: seolah-olah setiap tahun Jakarta ketambahan penduduk 250 ribu jiwa, dan soal ini tak ada solusinya. Untunglah di masa Gubernur Fauzi Bowo penyesatan opini publik itu tidak pernah diulang lagi.

Mungkin benar setiap habis lebaran ada 250 ribu orang yang masuk Jakarta. Tapi tidak berarti mereka semua itu adalah pendatang baru. Sebagian yang keluar juga tidak kembali sebagai penduduk Jakarta lagi.

Migrasi ke kota adalah hal yang tidak terhindarkan, sebagai konsekuensi modernisasi. Untuk menghentikan pertumbuhan penduduk perkotaan karena migrasi, seluruh proses modernisasi harus dihentikan.

Dari semua gubernur Jakarta, tidak diketahui ada yang lahir dan besar di Jakarta kecuali Fauzi Bowo. Artinya, yang lain-lain itu adalah pendatang juga, termasuk sejumlah jenderal yang pernah menjadi Pangdam Jaya sebelum gubernur.

Kalau kaum elit berhak pindah ke Jakarta untuk mencari penghidupan (antara lain melalui jabatan) yang lebih baik, mengapa tidak orang biasa, seperti petani yang sawahnya gagal panen, misalnya? Selain itu kenyataannya Jakarta juga tergantung kepada migran musiman, ialah para petani yang menjadi pekerja bangunan sambil menunggu musim panen.